DALIHAN NA TOLU

Jika diartikan, Dalihan Na Tolu berarti "Tungku (berkaki) Tiga" seperti terlihat pada gambar ilustrasi. Sistem kekerabatan ini begitu dijunjung tinggi oleh Bangsa Batak pada umumnya bahkan dijadikan falsafah dalam kehidupan masyarakat, adat, dll. Dalihan Na Tolu memiliki nilai-nilai kehidupan yang sangat baik bahkan unik karena sifatnya yang saling mendukung satu sama lain.
Apakah Dalihan Na Tolu itu? Dan mengapa nilai-nilai nya masih sanggup bertahan sampai sekarang? Kali ini kita akan coba menggali lebih jauh mengenai sistem kekerabatan yang begitu hebat ini.

Sejarah
Menurut sejarahnya, tungku yang memiliki tiga kaki ini sering dipergunakan oleh Bangsa Batak pada zaman dahulu untuk memasak kebutuhan sehari-harinya, dalam prakteknya sendiri memasak menggunakan tungku ini seringkali timpang karena bentuk batu sebagai tungku ataupun juga karena bentuk periuk yang digunakan sebagai wadah untuk memasak. Untuk mengatasi hal tersebut, seringkali digunakan benda lain sebagai pengganjal, yang dinamakan dengan "Sihal".

Sedangkan mengenai asal-usul dibalik Filosofi Dalihan Na Tolu ini didalam kehidupan Bangsa Batak, ada sebuah legenda yang saya temukan, yaitu legenda Putri Nai Manggale. Legenda ini sendiri bercerita mengenai seorang pemahat, yaitu Raja Panggana, yang memahat sebuah pohon di hutan menjadi patung Putri yang sangat cantik dengan sikap seperti sedang menari. Karena kecantikan pahatan patung tersebut jugalah yang membuat Baoa Partigatiga, seorang pedagang yang lewat dari hutan tersebut, untuk memberikan baju dan juga perhiasan kepada patung tersebut, namun karena ketidaksanggupan mereka untuk membawa pulang patung tersebut, akhirnya mereka meninggalkan patung itu untuk tetap di hutan tersebut.
Suatu waktu, lewatlah seorang dukun sakti yang tiada bandingannya dari hutan tersebut, maka Dukun yang disebut sebagai Datu Partawar itu pun terpesona dengan kecantikan patung itu. Dengan seizin Yang Maha Kuasa maka Ia pun memohon agar patung itu diberikan nyawa, dan dikabulkan. Dalam waktu yang singkat tersiarlah kabar mengenai kecantikan Putri yang diberikan nama Nai Manggale itu keseluruh negeri dan juga kepada Raja Panggana dan Baoa Partigatiga.
Karena mereka semua merasa yang paling berhak memiliki Putri Nai Manggale, mereka bertiga bertengkar untuk menetapkan siapakah yang paling pantas memiliki Putri. Namun akhirnya mereka sepakat untuk bermusyawarah dan memutuskan agar Putri Nai Manggale lah yang memutuskan siapa yang paling berhak. Sungguh mengejutkan jawaban Putri bahwa Ia merasa mereka bertiga sama-sama memiliki hak untuk dirinya, maka mereka bertiga menetapkan suatu keputusan sebagai berikut :
  1. Karena Raja Panggana yang memahat sebatang kayu menjadi patung, maka pantaslah ia menjadi Ayah dari Putri Naimanggale. SUHUT
  2. Karena Baoa Partigatiga yang memberi pakaian dan hiasan kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Amangboru dari Putri Naimanggale. BORU
  3. Karena Datu Partawar yang memberikan nyawa dan berkat kepada patung, maka pantaslah ia menjadi Tulang dari Putri Naimanggale. HULA-HULA
Demikianlah mereka bertiga serta Putri Nai Manggale membuat keputusan tersebut untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara mereka, sehingga kelak Putri Nai Manggale harus mematuhi setiap keputusan dari Raja Panggana, Baoa Partigatiga, dan juga Datu Partawar.
Konsep Dalihan Na Tolu

Konsep Dalihan Na Tolu bukanlah kasta, hal ini bisa berlaku pada setiap Orang Batak dalam situasi-situasi yang berbeda dan ketiga konsep tersebut satu sama lain saling menopang sendi-sendi kehidupan Bangsa Batak. Nilai-nilai yang terkandung dalam Konsep Dalihan Na Tolu dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Somba Marhula-hula

Jika diartikan secara letterlijk, Somba Marhula-hula berarti "Menyembah kepada Hula-hula atau keluarga pihak istri". Kata "Somba" atau "Menyembah" bukan berarti kita diharuskan untuk menyembah keluarga pihak istri, namun kata tersebut dipilih oleh Leluhur Bangsa Batak untuk mendeskripsikan rasa Hormat yang sangat mendalam kepada keluarga pihak istri dengan tujuan agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.

Pihak perempuan pantas dihormati, karena mau memberikan putrinya sebagai istri yang memberi keturunan kepada satu-satu marga. Penghormatan itu tidak hanya diberikan pada tingkat ibu, tetapi sampai kepada tingkat ompung (Kakek dan Nenek) dan seterusnya.

Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa "Surga ada di telapak kaki Ibu",  sesungguhnya para Leluhur Bangsa Batak pada zaman dahulu telah mengerti betul akan pentingnya Restu Ibu didalam setiap kehidupan yang akan dijalani seseorang. Oleh karena itu seringkali apabila dalam suatu keluarga terdapat penderitaan atau kesusahan hidup, ada pemikiran bahwa semasa hidup pendahulu dari generasi yang sengsara atau menderita itu ada sikap-sikap yang tidak menghormati hula-hula.

2. Manat Mardongan Tubu

Dongan Tubu dalam adat Batak adalah kelompok masyarakat dalam satu rumpun marga. Gambaran Dongan Tubu adalah layaknya sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan pertumpahan darah.

Jika dianalogikan, hubungan antara abang dan adik sangat akrab, juga sangat terbuka dalam segala hal. Namun dibalik itu, hubungan tersebut juga rawan perselisihan karena tidak adanya batasan-batasan antara saudara, dan juga faktor kedekatan antara abang dan adik. Menyadari hal tersebut, Leluhur Bangsa Batak mengatur hal tersebut bahwa kepada Dongan Tubu harus bersikap hati-hati, sopan, dan saling menghargai satu sama lain. Karena sifat hubungan abang dan adik yang mudah bertengkar sampai berujung kepada perkelahian, maka filosofi Manat Mardongan Tubu merupakan suatu pengaturan hubungan yang akan tetap hidup sepanjang masa.

3. Elek Marboru

Elek berarti sikap membujuk dan mengayomi yang merupakan perwujudan rasa sayang tanpa pamrih. Sedangkan Boru adalah keluarga saudara perempuan kita (anak perempuan, saudara perempuan satu marga). Jika diartikan, Elek Marboru merupakan sikap membujuk dan mengayomi terhadap saudara perempuan kita.

Sebagaimana kita ketahui sifat perempuan yang halus hatinya, maka sebagai saudara laki-lakinya, Orang Batak harus mampu menjaga tali persaudaraan dengan sikap-sikap seperti diatas, karena didalam penerapan adat, Boru harus mampu melakukan tugas-tugas didapur.

 http://www.maskolis.com/2012/04/membuat-content-slider-image-otomatis.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar